Raja Raja Yang Memerintah Kerajaan Islam Di Indonesia

Raja Raja Yang Memerintah Kerajaan Islam Di Indonesia

Kerajaan Kupang. Raja Daud Tanof adalah Raja pertama kerajaan atau swapraja Kupang. Nama Lengkap raja Taebenu ini adalah Daud Hanoch Obed Tanof . Memerintah 1917-1918

Kerajaan Fialaran. Loro Fialaran Tasifeto As Tanara Don Henderikus Besin Sirimain Da Costa De Ornai

Kerajaan Lioemata. Laki laki Atoni dari Lioemata

Kerajaan Lamaknen. Raja yang pernah memimpin Makir

Raja raja Timor di Kupang, Timor, 11 Februari 1889

Kerajaan Insana. Raja VII Insana, Chalmento Kahalasi Taolin, 1912-1933

Kerajaan Kupang (Sonbai Kecil). Alm. Raja Alfons Nisnoni dan pemerintahnya

Kerajaan Kupang (Sonbai Kecil). Raja Don Ote Nicolaas Isu Nisnoni, Raja dari Kupang, 1918 – 1945

Prajurit wilayah Kupang. 1875

Kerajaan Insana. Raja Lan Taolin, 1942.

Kerajaan Insana. Raja Insana VIII, Dominikus Arnoldus Un Taolin, 1935

Kerajaan Amarasi. Raja kerajaan Amarasi dan Putera Mahkota

Kerajaan Amanuban. Raja Pae Nope, 1920.

Kerajaan Kefamenanu. Raja Pae Nope, Lan Taolin dan Johan Paulus, Leu Nope

Kerajaan Belu-Fatuaruin. Loro Bot Ignatius Asit Soe Bertek dari Fatuaruin-Belu (1931-1964). (ke-2 dari kiri depan)

Kerajaan Amarasi. Raja Rasi Koroh of Amarasi with one of his fettors standing,

Kerajaan Amanuban. Seorang imam Amanuban memakai kostum perang dan Meo Atoni di Timorese

Kerajaan Amanuban. Foto Pasar Nikiniki tahun 1940. Pasar Niki- niki pertama kali dibuka oleh Raja Amanuban Noni Nope

Kerajaan Wewiku. Raja Edmundus Klai Muti dari Wewiku-Belu (wafat 1999)

Kerajaan Umaklaran. Arnoldus Manek Siku; raja dari Umaklaran; wafat 1964. Fialarang area, Belu

Kerajaan Tefnai. Temukung dari Tefnai

Kerajaan Soe. Raja Afuan. 1890.

Kerajaan Soe, Atoni dari Soë

Raja raja di P. Timor

Raja raja di Kupang. Federation of Timorese Rajas 1920

Raja dari Timor tahun 1898.

Kerajaan Naitimu. Fransiskus Manek, raja Naitimu

Kerajaan Mollo. Raja Mollo, Lay Akun Tabelak Oematan, memerintah 1915-1930.

Kerajaan Mollo. Raja kerajaan Mollo dan pasukannya.

Kerajaan Mollo. Radja Tua Son bai kerajaan Mollo berkuaza 1930-59, sebelumnya menjadi temukung brsar Fatumnutu,

Kerajaan Miomaffo. Temukung dari Ballo-Miomaffo, 1924

Kerajaan Lasiolat. Raja Lasiolat Don Kaitanus Sirimain Da Costa De Orna.

Kerajaan Lasiolat. Fettor Lasiolat, 1936

Kerajaan Kupang, (Sonbai Kecil)

Kerajaan Kupang (Sonbai Kecil). Prajurit.

Kerajaan Insana. Raja Insana, Yosef Carmento Kahlasi Taolin

Kerajaan Insana. Raja Dominikus Taolin, memerintah 1938- 1940

Kerajaan Belu. Orang dari Besikama, Belu selatan.

Kerajaan Amanuban. Raja Amanuban Usif Pina Nope, 1913-1955

Kerajaan Amarasi, raja

Kerajaan Amanatun. Raja Kusa Banunaek.

Kerajaan Amanuban. Radja Petrus Pae Nope dari Amanuban di tengah kepala-kepalanya

PWMJATENG.COM – Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sejarah yang kaya akan keberagaman budaya dan agama. Salah satu elemen penting dalam sejarah Indonesia adalah keberadaan kerajaan-kerajaan Islam yang memainkan peran krusial dalam perkembangan politik, ekonomi, dan budaya di Nusantara. Raja-raja Islam di Indonesia tidak hanya berperan sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai penyebar agama dan penjaga stabilitas sosial di wilayah kekuasaannya.

Islam mulai masuk ke Nusantara pada abad ke-7 melalui jalur perdagangan. Para pedagang dari Arab, Persia, dan India membawa ajaran Islam bersamaan dengan barang dagangan mereka. Seiring waktu, ajaran Islam mulai diterima oleh penduduk lokal, terutama di pesisir utara Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Proses Islamisasi ini kemudian didukung oleh berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang menjadi pusat penyebaran agama.

Menurut sejarawan Anthony Reid, “Islamisasi di Asia Tenggara adalah proses yang unik karena berlangsung melalui perdagangan, pernikahan, dan patronase politik, bukan melalui penaklukan militer.” Hal ini memungkinkan Islam untuk tumbuh dan berkembang dengan cara yang damai, serta berakulturasi dengan budaya lokal yang sudah ada.

Kerajaan Samudera Pasai di Aceh dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia, didirikan pada awal abad ke-13. Sultan Malik al-Saleh, raja pertama Samudera Pasai, memeluk Islam dan menjadikan kerajaan ini sebagai pusat penyebaran agama di wilayah Sumatera. Samudera Pasai menjadi penting tidak hanya karena peran politiknya, tetapi juga sebagai pusat perdagangan internasional yang menghubungkan Nusantara dengan Timur Tengah dan India.

Dalam konteks ini, Kerajaan Samudera Pasai memainkan peran penting dalam membangun jaringan perdagangan maritim yang luas dan mempromosikan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Sejarawan Denys Lombard menyatakan bahwa “Samudera Pasai adalah contoh nyata dari bagaimana Islam mampu beradaptasi dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang heterogen di Nusantara.”

Pada abad ke-15, Kesultanan Demak muncul sebagai kekuatan politik dan agama di Jawa. Didukung oleh Wali Songo, para ulama yang berperan dalam penyebaran Islam di Jawa, Kesultanan Demak menjadi kerajaan Islam pertama di pulau tersebut. Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memainkan peran penting dalam mengkonsolidasikan kekuatan politik Islam di Jawa, serta mendukung penyebaran ajaran Islam ke wilayah-wilayah sekitarnya.

Kesultanan Demak juga berperan dalam mengintegrasikan elemen-elemen budaya lokal dengan ajaran Islam, menciptakan tradisi Islam yang unik di Jawa. Dalam bukunya, “Islam in Java”, Clifford Geertz menyebutkan bahwa “Islam di Jawa berkembang dengan cara yang sinergis, di mana ajaran agama diadaptasi dengan tradisi dan budaya lokal, menciptakan bentuk Islam yang khas di Nusantara.”

Kesultanan Aceh Darussalam di Aceh, yang berdiri pada abad ke-16, adalah salah satu kerajaan Islam terbesar dan terkuat di Indonesia. Sultan Iskandar Muda, salah satu raja terbesar Kesultanan Aceh, memperluas wilayah kekuasaan dan memperkuat posisi Aceh sebagai pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Nusantara bagian barat. Aceh juga dikenal sebagai “Serambi Mekkah” karena peran sentralnya dalam menghubungkan Nusantara dengan dunia Islam, terutama dalam hal pendidikan agama dan ibadah haji.

Menurut Azyumardi Azra, seorang sejarawan dan cendekiawan Islam Indonesia, “Kesultanan Aceh adalah contoh bagaimana Islam dan politik dapat berintegrasi untuk membangun kekuatan regional yang berpengaruh. Aceh tidak hanya menjadi benteng pertahanan Islam di Nusantara, tetapi juga pusat intelektual Islam yang melahirkan banyak ulama dan cendekiawan.”

Di wilayah timur Indonesia, Kesultanan Ternate dan Tidore memainkan peran penting dalam penyebaran Islam dan pengendalian jalur perdagangan rempah-rempah. Kedua kesultanan ini bersaing, namun juga bekerja sama dalam mempertahankan kedaulatan mereka melawan penjajah Eropa. Sultan Baabullah dari Ternate dikenal sebagai salah satu pemimpin yang berhasil mengusir Portugis dari wilayah Maluku dan memperkuat posisi Islam di kawasan tersebut.

Sejarawan MC Ricklefs mencatat bahwa “Kesultanan Ternate dan Tidore tidak hanya memainkan peran dalam perdagangan, tetapi juga dalam menyebarkan Islam di wilayah timur Indonesia, membentuk jaringan diplomasi yang kuat dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara.”

Raja-raja Islam di Indonesia meninggalkan warisan yang tak ternilai bagi bangsa ini. Mereka tidak hanya membentuk identitas politik dan agama Nusantara, tetapi juga berkontribusi dalam perkembangan budaya, ekonomi, dan sosial yang masih terasa hingga kini. Keberadaan kerajaan-kerajaan Islam ini menunjukkan bagaimana Islam di Indonesia berkembang dengan cara yang unik, berakulturasi dengan budaya lokal, dan menciptakan kekuatan politik yang signifikan di kawasan Asia Tenggara.

Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, warisan raja-raja Islam ini terus menjadi bagian penting dari identitas dan sejarah Indonesia. Dengan memahami sejarah kerajaan-kerajaan Islam ini, kita dapat menghargai lebih dalam kontribusi mereka dalam membentuk bangsa Indonesia yang beragam, inklusif, dan penuh toleransi.

Masa lalu yang kaya akan kejayaan kerajaan-kerajaan Islam ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga harmoni antara agama dan negara, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kemajuan yang diwariskan oleh para pendahulu kita.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Jumlah Pengunjung : 1,335

KOMPAS.com - Kerajaan-kerajaan di Nusantara mulai berubah menjadi kesultanan pada abad ke-13.

Perubahan menjadi kesultanan dan pemakaian gelar sultan oleh para penguasanya merupakan salah satu bukti awal mengenai islamisasi di Asia Tenggara.

Raja Islam di Indonesia yang pertama kali memakai gelar sultan adalah Meurah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh.

Sultan Malik as-Saleh adalah pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, yang diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia.

Baca juga: Apa Kerajaan Islam Pertama di Indonesia?

Sejarah pemakaian gelar sultan di Indonesia

Pada asalnya, sultan diartikan sebagai kekuasaan. Namun, pada masa Dinasti Seljuk mengungguli Kekhalifahan Abbasiyah, gelar sultan berubah makna menjadi penguasa.

Gelar sultan semakin populer digunakan oleh para penguasa kesultanan pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir (1250-1517) dan mencapai puncaknya pada masa kekuasaan Turki Ottoman.

Di antara para penguasa Turki Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah, Bayazid I (1389-1402) yang kali pertama memakai gelar sultan.

Di Indonesia, raja Islam yang pertama kali memakai gelar sultan adalah Meurah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, seperti tertera pada nisan kuburnya.

Sultan Malik as-Saleh adalah pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Samudera Pasai yang berkuasa antara tahun 1267 hingga 1297.

Baca juga: Hikayat Raja-raja Pasai: Isi dan Ringkasan Ceritanya

Dari Hikayat Raja-Raja Pasai diketahui bahwa Meurah Silu masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekkah.

Meurah Silu kemudian diberi gelar Sultan Malik as-Saleh dan gelar itu tercantum dalam nisannya yang terdapat di kampung Samudra, Lhokseumawe, Provinsi Aceh.

Setelah itu, raja-raja Muslim di Nusantara umumnya juga menggunakan gelar sultan.

Penulis dan bendahara Portugis, Tome Pires, dalam catatannya menyebut bahwa pada abad ke-16, para penguasa Muslim yang utama di Nusantara semuanya memakai gelar sultan, sedangkan raja-raja kecil cukup puas dengan gelar raja.

Kerajaan Samudra Pasai, ditinjau dari segi geografi dan sosial-ekonomi, merupakan daerah penting yang menghubungkan Nusantara dengan India dan Arab, sehingga lebih dulu tersentuh pengaruh Islam.

Di Jawa dan Sulawesi, gelar sultan baru dipakai pada sekitar permulaan abad ke-17.

Berdasarkan himpunan hukum adat Aceh yang tercantum dalam Adat Makuta Alam yang tersusun lengkap pada masa Sultan Iskandar Muda, pengangkatan sultan melalui serangkaian prosesi.

Baca juga: Sultan Mahmud Malik Az Zahir, Pembawa Kejayaan Samudera Pasai

Menurut lembaran sejarah adat yang berdasarkan hukum (Syara'), dalam pengangkatan sultan harus semufakat hukum dengan adat.

Oleh karena itu, ketika dinobatkan, sultan berdiri di atas tabal, ulama memegang Al Quran berdiri di kanan, perdana menteri yang memegang pedang berdiri di kiri.

Pada umumnya, di tanah Aceh, pangkat sultan turun kepada anak.

Sultan diangkat oleh rakyat atas mufakat dan persetujuan ulama dan orang-orang besar cerdik pandai.

Adapun orang-orang yang diangkat menjadi sultan dalam hukum agama harus memiliki syarat-syarat bahwa ia mempunyai kecakapan untuk menjadi kepala negara, cakap mengurus negeri, hukum dan perang, sera mempunyai kebijaksanaan dalam hal mempertimbangkan dan menjalankan hukum adat.

Para raja Bali saat dilantik di Pura Besakih pada 30 Juni 1938.

Acara ngaben raja Gianyar 1896-1912, Dewa Manggis VIII, yang dihadiri para pembesar Belanda dan para bangsawan Bali yang menurut catatan foto a.l. Cokorda Sukawati (raja Ubud), Dewa Gde Rai (raja Bangli), Dewa Gde Ngurah (raja Gianyar), dan Gusti Bagus (raja Karangasem).

———————— Raja Gianyar, raja Bangli dan raja Klungkung di Puri Agoeng Bangli. 1925

I Dewa Gede Raka, Raja Gianyar (1896 – 1912). Dinobatkan jadi Raja Gianyar 15 juli 1903 bergelar I Dewa Manggis VIII

Raja Gianyar dengan istrinya pada foto yang diambil tahun 1910.

Raja I Gusti Ngurah Ketut Jelantik

Goesti Ngoerah Ketoet Djilantik, radja dari Boeleleng, bersama pengikut, di Buitenzorg (Bogor) saat kunjungan Gubernur Jenderal belanda.

I Gusti Ketut Jelantik. Dinobatkan pada tahun 1828 sebagai Patih di Kerajaan Buleleng. Meninggal tahun 1849

Raja Buleleng, Gusti Ngurah Djelantik.

Ratu peranda dari griya banjar buleleng, 1865

Dewa Agung Jambe II pada tahun 1908.

Raja Gianyar, raja Bangli dan raja Klungkung di Puri Agoeng Bangli. 1925

Cokorda Gede Oka Geg, raja terakhir Kerajaan Klungkung.

Dewa Agung, abad ke-16 (?)

Raja Anak Agung Ngurah Karangasem

Raja Karangasem bersama penguasa belanda

I Goesti Agoeng Bagoes Djelantik, Anak Agoeng Agoeng Negara, Karang Asem Bali 1931

Raja Karangasem dan keluarga

Anak Agung Gde Jelantik Karangasem

Raja Gianyar, raja Bangli dan raja Klungkung di Puri Agoeng Bangli. 1925

Panglingsir poeri Agoeng Bangli 1925

Ida Anak Agung Ketut Ngurah tahun 1933 – 1960

Puri Saren Agung Ubud

Ida Cokorda Gde Sukawati, 1915

Tjokorda Gde Agung Sukawati